Kamis, 22 April 2010

PP No.18/1980 Dan Kepmenkes No.423 Disosialisasikan


Pemberian transfusi darah memiliki resiko penularan penyakit infeksi menular lewat transfuse darah (IMLTD) Terutama HIV/AIDS, Hepatitis C, Hepatitis B, Siphilis, Malaria, serta resiko transfuse lain yang dapat mengancam jiwa, sehingganya keamanan tindakan transfuse darah tergantung dari seleksi donor, proses dari pengeluaran darah dari vena donor dengan tindakan memasukkan darah ke vena pasien, serta ketepatan indikasi.

Demikian diungkapkan dr.Aditya, M.Biomed dari Unit Transfusi Darah Cabang (UTDC) Pembina Palang Merah Indonesia (PMI) Provinsi Lampung, saat sosialisasi PP No.18/1980 dan Surat Keputusan Menteri Kesehatan No.423/Menkes/SK/IV/2007 , yang diselenggarakan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Pringsewu di aula RSUD Pringsewu, Kamis (22/4).

Menurut dr.Aditya, darah merupakan materi bilogis yang diproduksi tubuh manusia dalam jumlah terbatas dan belum dapat disintesis di luar tubuh, dimana di luar tubuh manusia, darah merupakan materi yang labil, sehingga dalam transfusi perlu diperhatikan faktor keamanan dan keselamatan.

“Usaha transfusi darah merupakan bagian dari tugas pemerintah di bidang pelayanan kesehatan rakyat dan bentuk pertolongan yang sangat berharga kepada umat manusia.,” ujarnya.

Dikatakan dr.Aditya, dalam UU No.36/2009 tentang kesehatan, setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan dan berhak atas pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, terjangkau (pasal 5), dan pelayanan darah yang aman adalah bagian dari penyelenggaraan kesehatan (pasal 48, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92).

“Dalam Kepmenkes No.423/Menkes/SK/IV/2007 tentang kebijakan peningkatan kualitas dan akses pelayanan darah, setiap RS wajib memiliki BDRS,” katanya.

Akan tetapi, lanjut dia, saat ini baru tersedia 190 UTDRS, 211 UTD PMI, dan 1 UTD Pemda Provinsi di Indonesia, sehingga dari 457 kabupaten/kota, masioh terdapat 55 kabupaten/kota yang tidak memiliki UTD, dan bahkan masih banyak RS yang tidak memiliki manajemen pelayanan darah, di samping belum ada sistem koordinasi pelayanan darah antara Dinas Kesehatan sebagai penanggung jawab kesehatan, UTD PMI, UTDRS, RS, serta masyarakat sebagai pendonor darah.

“UTD yang ada di Indonesia saat ini belum memenuhi standa (input-proses-output) yang sama, sementara kebutuhan darah pertahun 2 % Dari jumlah penduduk (4 juta kantong), dan ketersediaan 1,7 juta yang tediri dari 83 % DDS dan 17 % pengganti/bayaran/keluarga. Akibatnya, kualitas pelayanan di beberapa daerah kurang baik, masyarakat yang membutuhkan sulit mendapatkan darah yang aman dan tepat waktu,” imbuhnya.

Sosialisasi PP No.18/1980 dan Keputusan Menteri Kesehatan No.423/Menkes/SK/IV/2007 tersebut dibuka langsung oleh Asisten I Setdakab Pringsewu H.Firman Muntako, S.Sos mewakili Pj Bupati Pringsewu Ir.H.Helmi Machmud, didampingi Kepala Dinas Kesehatan Pringsewu dr.Hj.Endang Budiati, serta dihadiri kepala RSUD Pringsewu, empat kepala RS swasta, kepala unit pelayanan kesehatan, serta para dokter dan praktisi kesehatan lainnya.

Pj Bupati Pringsewu Ir.H.Helmi Machmud dalam sambutan yang dibacakan Asisten I H.Firman Muntako, S.Sos mengungkapkan , berdasarkan kajian hasil pemeriksaan uji saring pada 2009 lalu di UTDRS Pringsewu, dari 2.805 pemeriksaan uji saring ditemukan 143 sample darah yang bermasalah, terdiri dari 53 sample darah terinfeksi Hepatitis B, 14 sample darah terinfeksi Hepatitis C , 3 sample darah terinfeksi HIV, serta 16 sample darah terinfeksi shypilis.

“Ini merupakan gambaran betapa penting darah yang akan ditransfusikan ke pasien terlebih dahulu harus diuji saring,” katanya.

Permasalahan yang dihadapi dewasa ini, lanjut dia, adalah banyaknya pelayanan kesehatan yang memungkinkan munculnya praktek transfusi darah yang tidak sesuai ketentuan keselamatan dan keamanan pasien, sebagaimana tertuang dalam Permenkes.

“Ini perlu pemahaman semua pihak terutama unit-unit pelayanan kesehatan yang ada,” pungkasnya. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar